Teks Media sebagai Arena Pertarungan Wacana

Senin, 17 November 2008

Teks Media sebagai Arena Pertarungan Wacana

Gigih Sari Alam


Pandangan positivistis memandang bahwa sebuah institusi media merupakan suatu entitas, sedangkan pandangan konstruksionis lebih melihat bahwa individu memiliki otoritas dalam mendefinisikan realitas. Konstruksionis melihat bahwa teori klasik tentang penjaga gerbang (gatekeeper) sebagai suatu proses pembentukan konstruksi wacana berita, karena ketika seorang individu media menseleksi berita, pada saat itu ia pun membentuk berita itu sendiri. Konstruksionis melihat informasi mengalir sepanjang saluran tertentu yang terdiri atas “pintu-pintu gerbang”, pada setiap pintu gerbang inilah setiap keputusan harus diambil oleh para gatekeeper, informasi apa dan bagaimana saja yang dibiarkan masuk, diseleksi dan diaksentuasikan.

Proses penseleksian, pembingkaian, atau pengkonstruksian tidak terjadi sekali saja, tetapi berlangsung terus-menerus dan berjenjang. Pertama, ketika reporter (wartawan) memilih dan menentukan nara sumber dan melaporkan peristiwa dalam berita. Kedua, ketika editor memparafrasekan atau membentuk wacana berita. Ketiga, ketika para pemimpin redaksi menentukan berita mana yang dianggap layak atau tidak dimuat. Pada tahap inilah proses dominan pembingkaian terjadi, di sini antara wartawan dan redaksi dengan sengaja bersama-sama melakukan pembentukan wacana lewat seleksi tersebut.

Mengenai sikap redaksi yang biasanya terlihat melalui rubrik Editorial atau Tajuk Rencana adalah sikap dari redaksi media terkait terhadap suatu kasus atau wacana yang sedang berkembang di dalam masyarakat. Dalam hal demikian sikap sebuah harian tidak hanya terlihat dari Tajuk Rencana atau Editorial tetapi dengan metode framing yang ketat pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan dan lay-out juga dapat terlihat.



Next Page ....

Penegasian Konstruksionisme terhadap Positivistisme dalam Kajian Media

Penegasian Konstruksionisme terhadap Positivistisme

dalam Kajian Media



Gigih Sari Alam

Secara umum berita —sebagai sebuah produk kerja wartawan— dipahami sebagai sebuah realita yang “direpresentasikan” secara utuh dan dengan apa adanya, persis seperti realita yang terjadi (an sich) di lapangan. Terkadang istilah fakta dijadikan pembenaran untuk menutupi sisi subjektivitas dari para pekerja media.

Namun, pada kenyataannya ada hal yang mempengaruhi produksi berita sehingga sampai kepada pembacanya, hal tersebut adalah subjektivitas wartawan, kebijakan wartawan atau redaksi, ruang tampilan, rubrikasi dan orientasi institusi media.

Berbicara mengenai pemberitaan media berarti tidak terlepas dari pengertian objektivitas, dalam pengertian di sini adalah bahwa berita dipandang sebagai sesuatu yang tidak memihak, dua sisi dan netral. Sebangun dengan independensi, objektivitas merupakan nilai prinsip dari media dalam menjaga kredibelitasnya.

Dalam kajian efek media, paradigma konstruksionis dan positivistis menjadi perdebatan di antara para akademisi. Perdebatan ini dimulai pada perdebatan pakar jurnalistik yang dibukukan pada tahun 1984, yaitu perdebatan antara John C Merill dan Everette E Dennis. John C Merril berpendapat bahwa kerja wartawan dalam memproduksi berita berupa pencarian berita, peliputan, penulisan, sampai dengan editing berita merupakan tindakan subjektivitas wartawan. Sedangkan Everette E. Dennis berpendapat bahwa bentuk dari objektivitas dari kerja wartawan adalah adanya pemisahan fakta dan opini serta peliputan dua sisi (cover both side) adalah merupakan bentuk objektivitas dari kerja wartawan. Pada intinya, pandangan positivistis menitikberatkan kajian pada pengaruh media terhadap audiens, sedangkan pandangan konstruksionis memusatkan perhatian pada bagaimana seorang membuat gambaran mengenai sebuah peristiwa politik, personalitas, pembentukan dan penggubahan sebagai konstruksi realitas politik.

Peter L Berger mengatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial, artinya sebagai sebuah institusi media akan langsung mempengaruhi dan dipengaruhi oleh (society) masyarakatnya. Media dipandang sebagai sebuah institusi yang tidak pernah lepas dari pertarungan kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Mereka saling berlomba mencari otoritas untuk mendefinisikan realitas, sehingga realitas menjadi bagian dari kekuasaan. Dengan kata lain media tidak pernah terlepas dari keseharian hidup masyarakat, mereka selalu mengalami proses dialektis —yaitu eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi.

Pada proses eksternalisasi manusia mengeluarkan gagasan ketika berinteraksi antara satu dengan lainnya. Pada proses objektivikasi gagasan tersebut menjadi realitas objektif, sedangkan pada proses internalisasi realitas objektif tersebut tertanam kembali kepada manusia, melalui sosialisasi yang dialami secara kolektif manusia mentransformasikan struktur yang objektif tersebut ke dalam struktur kesadaran subjektif. Konstruksionis melihat bahwa keberhasilan sosialisasi menurut kaca-mata masyarakat terjadi ketika individu dapat hidup bersosialisasi dengan masyarakat, individu mengikuti konstruksi yang dipandang objektif pada saat itu, dan konstruksionis juga melihat bahwa keberhasilan sosialisasi menurut individu adalah jika ia dapat menerima legitimasi dari masyarakat.


Next Page .....

 
 
 
 
Copyright © Gigih Sari Alam